Ulama berselisih pandangan mengenai ilmu yang diperolehi melalui mimpi atau ilham (bisikan hati). Menurut huraian ulama akidah seperti al-Taftazani dalam sharahnya terhadap Aqa’id al-Nasafi, sumber ilmu yang disepakati oleh ulama ialah pancaindera, akal dan khabar yang benar (Qur’an dan hadis yang merupakan bahagian dari khabar dari Rasul). (Sa’d a-Din al-Taftazani, Sharh Aqaid Nasafi).
Sementara ilmu yang didapati dari ilham atau mimpi sebahagian ulama menolaknya kerana mimpi dan bisikan hati boleh datang dari syaitan dan nafsu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Namun ulama yang menerimanya berhujah atas beberapa sebab:
Pertama, mimpi orang yang bertaqwa adalah sebahagian dari ilham yang diberikan oleh Allah. Sebab itulah dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Rasulullah bersabda. “Mimpi seorang mukmin adalah empat puluh enam bagia n dari kenabian. [HR Bukhari]. Yang dimaksud dengan al nubuwah di sini adalah al wahyu secara umum. Ini bermakna sebagaimana Allah memberikan ilmu kepada nabi dalam bentuk wahyu, Allah juga memberikan ilmu-ilmu tertentu kepada orang-orang yang beriman dan bertaqwa dalam bentuk mimpi dan ilham. Sudah pasti seseorang tidak akan menjadi nabi hanya sekadar bermimpi baik tersebut. Ubadah bin Shamith berkata,”Mimpi seorang mukmin sebuah kalam (pembicaraan) yang Allah berbicara dengan hambaNya ketika tidur.” [Madarij Al Salikin, 1/51].
Terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan perkataan wahyu merujuk kepada yang bukan Nabi. Contohnya : “Dan Kami (wahyukan) ilhamkan kepada ibu Musa,"Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan jangan (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para Rasul.” [Al Qashash:7].
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala Dan (ingatlah), ketika Aku (wahyukan) ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia,"Berimanlah kamu kepadaKu dan kepada RasulKu." Mereka menjawab,"Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai Rasul), bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)." [Al Maidah:111].
Juga Alla Subhanahu wa Ta'ala l berfirman, Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah,"Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia." [An Nahl:68]
Walaupun wahyu di sini digunakan secara umum dan tidak merujuk kepada wahyu khusus yang diberikan kepada Nabi, ia dapat ditafsirkan sebagai ilham yang tuhan berikan kepada makhluk yang dipilih oleh Allah.
Asas yang kedua ialah ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahawa Allah akan membimbing manusia yang benar-benar bertaqwa dengan cara memberi ilham untuk melakukan perkara yang benar. Contohnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Furqan di sini menurut ulama seperti Syaikh Muhammad Amin Al Syanqiti adalah ilmu (pengetahuan) yang bisa membezakan antara yang hak dan batil, sebagaimana firman Allah,
dan firman Allah: dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan. Dan dengan itulah bisa membedakan antara yang hak dan batil. [Adwa’ al Bayan fi Idah al-Qur’an, 4/349].
Asas yang ketiga ialah kisah Nabi yang membenarkan mimpi para sahabat. misalnya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat yang membenarkan mimpi mereka tentang lailatul qadar. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa ada seorang sahabat yang melihat lailatul qadar ketika tidur pada malam duapuluh tujuh terakhir. Maka Rasulullah bersabda: “Saya melihat seperti mimpimu telah ada pada tujuh terakhir. Barangsiapa yang ingin mencarinya, maka hendaknya dicari pada malam ketujuh terakhir.” [HR Bukhari]
Seperti ini juga yang terjadi pada kisah permulaan azan. Yaitu Abdullah bin Zaid yang diajar tata-cara azan melalui mimpinya. Ketika beliau memberitahunya kepada Rasulullah, baginda mengatakan: “Sesungguhnya itu benar-benar mimpi yang baik Insya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pergilah kepada Bilal dan ajarkanlah apa yang anda lihat, dan azanlah dengannya, karena dia lebih keras suaranya darimu. Umar mendengar yang demikian itu di rumahnya, kemudian keluar dengan mengulur selendangnya dan berkata,”Demi Yang mengutusmu dengan kebenaran, wahai Rasulullah. Saya pernah bermimpi seperti mimpinya.” Rasulullah bersabda,”Segala puji bagi Allah.“ [HR Abu Daud,].
Hadis-hadis ini menggambarkan bahawa ada mimpi-mimpi yang benar yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambanya.
Kesimpulannya, mimpi dan bisikan hati boleh diterima sebagai saluran ilmu sekiranya ia diterima oleh orang-orang yang benar-benar beriman dan bertaqwa kepada Allah dan ia tidak bertentangan dengan prinsip dan nilai yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Neraca al-Qur’an dan Sunnah ini penting untuk membezakan antara bisikan hati dan mimpi yang benar dengan bisikan yang datang dari syaitan atau hawa nafsu manusia itu sendiri.
Wallahu a’lam
Asas yang ketiga ialah kisah Nabi yang membenarkan mimpi para sahabat. misalnya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat yang membenarkan mimpi mereka tentang lailatul qadar. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa ada seorang sahabat yang melihat lailatul qadar ketika tidur pada malam duapuluh tujuh terakhir. Maka Rasulullah bersabda: “Saya melihat seperti mimpimu telah ada pada tujuh terakhir. Barangsiapa yang ingin mencarinya, maka hendaknya dicari pada malam ketujuh terakhir.” [HR Bukhari]
Seperti ini juga yang terjadi pada kisah permulaan azan. Yaitu Abdullah bin Zaid yang diajar tata-cara azan melalui mimpinya. Ketika beliau memberitahunya kepada Rasulullah, baginda mengatakan: “Sesungguhnya itu benar-benar mimpi yang baik Insya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pergilah kepada Bilal dan ajarkanlah apa yang anda lihat, dan azanlah dengannya, karena dia lebih keras suaranya darimu. Umar mendengar yang demikian itu di rumahnya, kemudian keluar dengan mengulur selendangnya dan berkata,”Demi Yang mengutusmu dengan kebenaran, wahai Rasulullah. Saya pernah bermimpi seperti mimpinya.” Rasulullah bersabda,”Segala puji bagi Allah.“ [HR Abu Daud,].
Hadis-hadis ini menggambarkan bahawa ada mimpi-mimpi yang benar yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambanya.
Kesimpulannya, mimpi dan bisikan hati boleh diterima sebagai saluran ilmu sekiranya ia diterima oleh orang-orang yang benar-benar beriman dan bertaqwa kepada Allah dan ia tidak bertentangan dengan prinsip dan nilai yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Neraca al-Qur’an dan Sunnah ini penting untuk membezakan antara bisikan hati dan mimpi yang benar dengan bisikan yang datang dari syaitan atau hawa nafsu manusia itu sendiri.
Wallahu a’lam